BerandaDari Mana Sebaiknya Kita...

Dari Mana Sebaiknya Kita Memperbaiki Budaya Kebijakan Publik Indonesia?

Foto oleh Afif Ramdhasuma di Unsplash
Foto oleh Afif Ramdhasuma di Unsplash

Salah satu tantangan paling mendasar dalam aspek tata kelola pemerintahan Indonesia saat ini terletak pada terbatasnya kapasitas analisis para pembuat kebijakan (Ash Center for Democratic Governance and Innovation, 2013; Hill & Negara, 2019). Hal yang kemudian secara langsung berkontribusi pada rendahnya kualitas kebijakan publik di berbagai tingkat pemerintahan.

Seringkali, perumusan kebijakan tidak didasarkan pada riset sistematis atau analisis data, melainkan muncul dari intuisi politik, tekanan birokrasi, atau kepentingan politik jangka pendek. Hal ini melemahkan prinsip pembuatan kebijakan berbasis bukti (evidence-based policy) yang idealnya mendasari perumusan dan implementasi kebijakan publik yang efektif dan akuntabel. Akibatnya, banyak produk kebijakan mencerminkan langkah-langkah reaktif, terfragmentasi, atau simbolis yang gagal mengatasi permasalahan struktural, seperti kemiskinan, ketimpangan, atau inefisiensi kelembagaan.

Secara empiris, problematika yang dijelaskan pada paragraf sebelumnya tercermin dari indeks efektivitas pemerintahan Indonesia. Indeks ini mengukur aspek-aspek seperti kualitas pelayanan publik, independensi birokrasi dari tekanan politik, dan efektivitas implementasi kebijakan.

Berdasarkan data yang dihimpun dari Bank Dunia (2025), indeks efektivitas pemerintah Indonesia tahun 2023 berada di angka 0,6 pada skala -2,5 hingga +2,5, yang menunjukkan adanya berbagai kelemahan dan keterbatasan dalam perancangan dan implementasi kebijakan berbasis bukti. Indonesia berada di belakang Malaysia yang memiliki indeks efektivitas pemerintahan 0,9 pada tahun yang sama.

Skor rendah ini mencerminkan beberapa kelemahan sistemik: kapasitas analisis dan evaluasi yang tidak memadai dalam birokrasi, koordinasi antarlembaga yang lemah, dan tidak adanya budaya riset yang kuat di lembaga-lembaga kebijakan. Kendala-kendala ini secara kolektif menghasilkan siklus kinerja yang buruk dalam berbagai tahapan pembuatan kebijakan. Hal yang berimplikasi pada situasi di mana kebijakan seringkali tidak tepat sasaran, tidak berkelanjutan, dan terkadang menimbulkan beban sosial dan ekonomi yang tidak diinginkan.

Oleh karena itu, memperkuat kapasitas analisis dan menanamkan budaya kebijakan berbasis bukti merupakan langkah-langkah penting untuk meningkatkan kualitas, daya tanggap, dan koherensi jangka panjang kebijakan publik Indonesia.

Sebelum melangkah pada analisis yang lebih jauh, pertama-tama perlu dilakukan pembongkaran atas 3 mitos kebijakan yang ada di Indonesia. Pertama, budaya pembuatan kebijakan di Indonesia telah lama terpusat pada lembaga-lembaga birokrasi di tingkat nasional dan daerah (provinsi, kabupaten dan kota). Persepsi ini berasumsi bahwa kebijakan publik merupakan produk dari atas ke bawah (top-down) dari otoritas pemerintah formal, sehingga hanya menyisakan sedikit ruang bagi partisipasi aktif warga negara, organisasi masyarakat sipil, akademisi, dan sektor swasta. Namun, konsepsi hierarkis semacam itu bertentangan dengan cita-cita demokrasi politik dan demokrasi ekonomi Indonesia yang sering ditegaskan oleh Bung Hatta.

Dalam praktiknya, hal ini menghambat inovasi dan daya tanggap, karena pengetahuan lokal dan wawasan kontekstual dari akar rumput seringkali terabaikan dalam perancangan dan implementasi kebijakan. Hasilnya adalah pemusatan otoritas pembuatan kebijakan yang melemahkan otonomi daerah dan mengabaikan inisiatif kebijakan dari pemerintahan mikro, misalnya pemerintah desa.

Gagasan klasik dari Ostrom (1990) menegaskan bahwa tata kelola yang efektif pada dasarnya bersifat polisentris. Tata kelola yang efektif akan berkembang pesat ketika otoritas pengambilan keputusan didistribusikan ke berbagai pusat inisiatif dan tanggung jawab, termasuk masyarakat lokal.

Gagasan yang dewasa ini diperkuat dengan semakin populernya ide-ide tentang tata kelola kolaboratif (Breitinger et al., 2021; Ika Sari et al., 2024; Muhhina, 2024; Wernli, 2023; Wittmann et al., 2020). Perspektif ini menantang gagasan tradisional tentang negara monolitik dan menegaskan kembali bahwa kebijakan publik yang berkelanjutan bergantung pada kolaborasi antar beragam aktor, utamanya yang paling dekat dengan masyarakat.

Dalam kerangka ini, pemerintahan desa di Indonesia harus dipandang sebagai simpul penting dalam ekosistem pembuatan kebijakan. Pemerintah desa memiliki pengetahuan mendalam tentang realitas sosial ekonomi komunitas masyarakat dan berada pada posisi terbaik untuk merancang kebijakan yang responsif dan adaptif yang mengatasi masalah nyata di tingkat akar rumput.

Mitos kedua berkaitan dengan kesalahpahaman yang mengakar kuat dalam praktik tata kelola pemerintahan Indonesia adalah keyakinan bahwa warga negara hanyalah penerima pasif, alih-alih pencipta aktif kebijakan publik. Hubungan hierarkis ini menempatkan pemerintah sebagai satu-satunya pengambil keputusan, sementara rakyat hanya sebagai penerima manfaat atau objek intervensi.

Pendekatan semacam ini melemahkan akuntabilitas dan melemahkan legitimasi demokrasi. Padahal, Undang-Undang No. 6 Tahun 2014 tentang Desa secara eksplisit menegaskan hak warga untuk berpartisipasi dalam perencanaan, pelaksanaan, dan pemantauan kebijakan pembangunan di tingkat desa. Permasalahannya bukan terletak pada ketiadaan ruang regulasi untuk partisipasi, melainkan pada masih adanya pola pikir birokrasi yang memandang partisipasi sebagai kepatuhan prosedural, alih-alih keterlibatan substantif.

Ilustrasi membuat aturan tertulis. Foto: Shutter Stock
Ilustrasi membuat aturan tertulis. Foto: Shutter Stock

Tipologi klasik partisipasi warga negara menurut Arnstein (1969) memberikan perspektif analitis yang bermanfaat untuk memahami permasalahan ini. Arnstein membedakan antara tokenisme—bentuk partisipasi simbolis atau seremonial—dan kekuatan warga negara (citizen power), di mana masyarakat memiliki pengaruh nyata terhadap hasil kebijakan. Di Indonesia, forum partisipatif seperti musyawarah perencanaan pembangunan (musrenbang) seringkali mencerminkan hal pertama: forum tersebut menyediakan kesempatan untuk hadir dan berkonsultasi, tetapi jarang memberdayakan warga negara untuk menentukan prioritas atau alokasi sumber daya.

Pembongkaran atas praktik menyimpang ini membutuhkan pemosisian ulang warga negara bukan sebagai klien, melainkan sebagai pemilik sah kebijakan publik—aktor yang mampu mengartikulasikan kepentingan, mengusulkan solusi, dan meminta pertanggungjawaban lembaga.

Terakhir, mitos ketiga berkaitan dengan kebijakan publik di Indonesia yang seringkali dianggap sebagai masalah kebijaksanaan kualitatif yang lebih mencerminkan kepentingan kalangan elit, alih-alih sebagai hasil penalaran analitis yang ketat dan memiliki dasar empiris yang kuat. Persepsi ini mengutamakan interpretasi subjektif atas “kebijaksanaan” daripada analisis empiris, sehingga mengabaikan peran data, pengukuran, dan evaluasi dalam pembuatan kebijakan. Akibatnya, banyak keputusan publik bergantung pada bukti anekdotal, inkrementalisme administratif, atau pertimbangan politik, alih-alih pada indikator yang tervalidasi secara statistik atau penelitian evaluatif. Kurangnya budaya berbasis data di lembaga pemerintah secara signifikan menghambat efektivitas, pemantauan, dan akuntabilitas kebijakan.

Sebaliknya, pendekatan kebijakan berbasis bukti yang diadopsi secara luas di negara-negara OECD—menekankan integrasi data empiris, analisis kuantitatif, dan evaluasi kinerja ke dalam setiap tahapan siklus kebijakan (Nutley, Walter, & Davies, 2007). EBP tidak menghilangkan nilai-nilai normatif atau etika dalam pembuatan kebijakan, tetapi berupaya menyeimbangkannya dengan bukti yang kredibel dan ketelitian analitis. Tanpa budaya penyelidikan kuantitatif, kebijakan publik di Indonesia tetap sulit dinilai dari segi hasil dan dampak. Oleh karena itu, penguatan literasi statistik, pengembangan sistem data terbuka, dan pelembagaan kerangka kerja evaluasi kebijakan merupakan langkah-langkah krusial untuk membangun budaya kebijakan yang lebih rasional dan akuntabel.

Lalu, apa akar masalah dari semua ini? Setidaknya ada 3 hal yang besar kemungkinan menjadi akar masalah rendahnya kualitas kebijakan di Indonesia serta munculnya 3 mitos kebijakan yang dibahas sebelumnya. Pertama, salah satu hambatan paling persisten dalam menghasilkan kebijakan publik yang efektif dan berbasis bukti di Indonesia adalah terbatasnya kapasitas analisis pejabat publik.

Kelemahan ini tercermin dalam ketiadaan proses analisis kebijakan yang bertumpu pada riset ilmiah, analisis statistik hingga pengambilan keputusan berbasis metode kuantitatif yang akuntabel serta dapat dipertanggungjawabkan. Akibatnya, pembuatan kebijakan di banyak daerah masih didorong oleh rutinitas administratif, instruksi hierarkis, dan kepentingan politik, alih-alih metode sistematis dalam formulasi dan evaluasi kebijakan. Hal ini mengakibatkan kebijakan yang reaktif, terfragmentasi, dan seringkali redundan sehingga gagal menghasilkan dampak sosial yang terukur.

Kurangnya pengembangan kapasitas analitis juga mencerminkan permasalahan struktural dalam sistem birokrasi Indonesia. Lembaga publik jarang mengalokasikan sumber daya yang memadai untuk riset kebijakan, analisis data, atau evaluasi lintas sektor. Lebih lanjut, budaya birokrasi masih lebih mengutamakan kepatuhan dan ketepatan prosedural daripada kreativitas dan ketelitian analitis.

Padahal, negara-negara dengan lembaga analitis yang kuat—seperti Government Analysis Function di Inggris atau Korea Development Institute di Korea Selatan—telah melembagakan pembuatan kebijakan berbasis bukti sebagai bagian dari etos birokrasi mereka (Head, 2016). Guna dapat meniru model ini, Indonesia perlu berinvestasi tidak hanya dalam pelatihan teknis tetapi juga dalam pembentukan unit kebijakan khusus di dalam kementerian dan pemerintah daerah untuk memastikan bahwa keputusan didasarkan secara sistematis pada riset dan data.

Akar masalah kedua adalah sangat lemahnya budaya statistik dan kuantitatif dalam birokrasi dan proses-proses administrasi publik di Indonesia. Banyak pejabat masih menganggap data hanya sebagai formalitas pelaporan, alih-alih sebagai alat pengambilan keputusan. Tanpa data yang valid dan konsisten, efektivitas kebijakan publik tidak dapat diukur atau dioptimalkan. Contoh konkretnya adalah inkonsistensi yang berulang dalam data kemiskinan di berbagai lembaga seperti Badan Pusat Statistik (BPS), Kementerian Sosial (Kemensos), dan basis data desa setempat. Kurangnya sinkronisasi data ini seringkali menyebabkan program bantuan sosial yang tidak tepat sasaran dan adanya inefisiensi sumber daya.

Budaya literasi statistik melampaui keterampilan teknis—budaya ini juga membutuhkan komitmen politik dan kelembagaan untuk menggunakan data sebagai landasan penalaran dan akuntabilitas publik. Negara-negara seperti Korea Selatan dan Finlandia, misalnya, telah menanamkan tata kelola kuantitatif melalui sistem data longitudinal, bid data analysis, dan perangkat simulasi kebijakan yang terus-menerus memberikan input bagi perumusan kebijakan (OECD, 2021). Sebaliknya, ketergantungan Indonesia pada survei ad-hoc dan kumpulan data yang terfragmentasi membatasi kemampuannya untuk melakukan formulasi kebijakan berbasis bukti. Oleh karena itu, membangun budaya statistik yang kuat memerlukan integrasi tata kelola data, koordinasi antar lembaga, dan literasi digital ke dalam arsitektur pembuatan kebijakan.

Akar masalah ketiga berkaitan dengan partisipasi publik di Indonesia masih terkendala tidak hanya oleh hambatan kelembagaan tetapi juga oleh rendahnya literasi warga negara terkait hak-hak partisipasi dalam kebijakan publik. Di banyak konteks pedesaan, warga negara tidak menyadari bahwa mereka memiliki hak hukum untuk terlibat dalam perumusan kebijakan publik. Pada umumnya, warga desa tidak mengetahui mekanisme partisipasi formal dalam musyawarah pembangunan desa. Kesenjangan literasi partisipatif ini menghalangi warga negara untuk menuntut akuntabilitas atau berkontribusi pada alternatif kebijakan yang lebih relevan secara kontekstual. Hal ini melanggengkan bentuk pemerintahan di mana negara “bertindak untuk” alih-alih “bertindak bersama” rakyat.

Peningkatan literasi terkait partisipasi politik dan kebijakan sangat penting untuk mendemokratisasi proses kebijakan. Partisipasi yang bermakna membutuhkan lebih dari sekadar inklusi prosedural—partisipasi bergantung pada kemampuan warga negara untuk menafsirkan informasi kebijakan, mengevaluasi alternatif, dan terlibat secara kritis dengan lembaga publik. Menurut Fung dan Wright (2003), “demokrasi deliberatif yang berdaya” terjadi ketika warga negara memiliki hak dan kapasitas untuk memengaruhi pengambilan keputusan melalui penalaran kolektif. Bagi Indonesia, hal ini menyiratkan bahwa penguatan pendidikan partisipatif di tingkat desa harus disertai dengan reformasi kelembagaan. Hanya dengan mengembangkan pengetahuan kewarganegaraan dan kompetensi partisipatif, kebijakan publik dapat bertransformasi dari yang sebelumnya digerakkan oleh negara (state driven) menjadi benar-benar berpusat pada warga negara (citizen centric).

Lalu dari mana upaya perbaikan sebaiknya dimulai? Desa merupakan titik awal yang vital dan strategis bagi peningkatan budaya kebijakan publik Indonesia. Sebagai tingkat pemerintahan yang paling dekat dengan warga, desa memiliki potensi signifikan untuk menjadi pusat inovasi kebijakan yang partisipatif, berbasis data, dan peka konteks. Berbagai inisiatif penguatan kapasitas pemerintah desa perlu dilakukan. Utamanya agar pemerintah desa dapat membangun sistem pengambilan keputusan yang lebih transparan dan akuntabel yang merespons langsung kebutuhan nyata warga setempat. Lebih lanjut, desa berfungsi sebagai arena pembelajaran yang ideal untuk kebijakan publik. Di sini, warga dapat berpartisipasi langsung dalam proses pengambilan keputusan, mengamati dampak kebijakan secara langsung, dan belajar mengevaluasi keberhasilan berdasarkan data, bukan persepsi. Oleh karena itu, penguatan tata kelola di tingkat desa bukan sekadar agenda administratif—melainkan merupakan fondasi transformasi budaya menuju praktik kebijakan publik yang berbasis bukti, inklusif, dan partisipatif di seluruh Indonesia.

Pemerintah desa harus diposisikan sebagai aktor kebijakan yang mampu merancang, mengimplementasikan, dan mengevaluasi kebijakan secara otonom dan independen. Guna mencapai hal ini, inisiatif peningkatan kapasitas sangat penting, termasuk program pelatihan analisis kebijakan publik bagi pejabat desa dan anggota Badan Permusyawaratan Desa (BPD). Selain itu, kolaborasi dengan universitas dan lembaga penelitian dapat meningkatkan kapasitas analisis desa, memungkinkan mereka merumuskan rencana dan program berbasis bukti yang lebih responsif terhadap dinamika lokal.

Selain pengembangan sumber daya manusia, inovasi kelembagaan juga sama pentingnya. Pemerintah desa dapat memanfaatkan teknologi digital untuk mengelola data demografi, sosial, dan ekonomi secara efisien. Pembentukan laboratorium kebijakan mini di tingkat desa—tempat kebijakan diujicobakan dan dievaluasi sebelum implementasi penuh—dapat mendorong pembelajaran dalam pembuatan kebijakan. Dengan demikian, desa bertransformasi dari sekadar pelaksana program pemerintah pusat menjadi produsen kebijakan sosial yang otonom, adaptif, dan berbasis konteks kemasyarakat setempat.

Lebih lanjut, perlu adanya penguatan budaya statistik di desa. Pengembangan budaya statistik di desa berarti menanamkan pola pikir berbasis data dalam setiap proses pengambilan keputusan. Terlalu sering, keputusan lokal masih dibentuk oleh intuisi, praktik rutin, atau arahan politik, alih-alih bukti empiris. Mulai dari pengelolaan dana desa dan perencanaan program pembangunan hingga evaluasi kebijakan, setiap proses harus didasarkan pada indikator terukur dan data terverifikasi. Dalam konteks ini, Badan Pusat Statistik (BPS) dapat berperan sebagai mitra strategis dengan membantu desa mengembangkan profil statistik yang komprehensif, menerapkan sistem pelaporan digital, dan menyelenggarakan pelatihan literasi data bagi perangkat desa dan anggota masyarakat.

Langkah kecil dapat menghasilkan transformasi yang signifikan. Misalnya, mengukur hasil program menggunakan indikator sederhana—seperti tingkat partisipasi masyarakat, pertumbuhan pendapatan rumah tangga, atau penurunan kemiskinan lokal—dapat menjadi bukti nyata kemajuan. Dengan memperkuat penggunaan metode kuantitatif, desa dapat menumbuhkan budaya kebijakan baru yang transparan, akuntabel, dan empiris. Pergeseran dari intuisi kualitatif ke penalaran kuantitatif ini menandai langkah penting menuju ekosistem kebijakan publik yang lebih ilmiah dan bertanggung jawab di Indonesia.

Sebagai kesimpulan, dalam rangka mereformasi budaya kebijakan publik Indonesia, arah perbaikan harus bergeser dari pendekatan dari atas ke bawah (top down) ke pendekatan dari bawah ke atas (bottom up). Desa harus berfungsi sebagai episentrum produksi kebijakan publik—ruang di mana gagasan, inovasi, dan eksperimen kebijakan berbasis konteks kemasyarakatan setempat dikonseptualisasikan dan diuji. Ketika pemerintah desa mampu melakukan analisis kebijakan berbasis data, menumbuhkan budaya statistik, dan mendorong literasi partisipatif di kalangan warga, Indonesia akan membangun fondasi bagi ekosistem kebijakan yang lebih rasional, demokratis, dan berkelanjutan. Dalam visi ini, desa bukan sekadar titik akhir implementasi kebijakan, tetapi tempat lahirnya paradigma baru dalam tata kelola berbasis bukti dan berpusat pada rakyat.

- A word from our sponsors -

spot_img

Most Popular

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

More from Author

Cara Tarik Tunai di ATM: Panduan Mudah dan Cepat untuk Pemula

Pelajari cara tarik tunai di ATM dengan langkah mudah dan aman....

Astronom NASA Tangkap Momen Langka “Bayi Planet” Sedang Terbentuk

Untuk pertama kalinya, ilmuwan berhasil memotret langsung proses pembentukan planet di...

75 Tulisan Kangen Almarhum Ayah yang Menyentuh Hati, Penuh Makna!

75 tulisan kangen almarhum ayah yang menyentuh hati. Ungkapkan rindu dengan...

Istana Kaji Skema Pelunasan Utang Whoosh, Perluas Jalur sampai Surabaya

Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg), Prasetyo Hadi, mengatakan pemerintah tengah mengkaji skema...

- A word from our sponsors -

spot_img

Read Now

Cara Tarik Tunai di ATM: Panduan Mudah dan Cepat untuk Pemula

Pelajari cara tarik tunai di ATM dengan langkah mudah dan aman. Ikuti panduan ini untuk transaksi cepat di mesin ATM bank Anda.

Astronom NASA Tangkap Momen Langka “Bayi Planet” Sedang Terbentuk

Untuk pertama kalinya, ilmuwan berhasil memotret langsung proses pembentukan planet di dalam cincin debu bintang muda bernama WISPIT 2. 

75 Tulisan Kangen Almarhum Ayah yang Menyentuh Hati, Penuh Makna!

75 tulisan kangen almarhum ayah yang menyentuh hati. Ungkapkan rindu dengan kata-kata penuh makna untuk mengenang ayah tercinta.

Istana Kaji Skema Pelunasan Utang Whoosh, Perluas Jalur sampai Surabaya

Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg), Prasetyo Hadi, mengatakan pemerintah tengah mengkaji skema pelunasan utang kereta cepat Jakarta-Bandung alias Whoosh, yang jalurnya akan diperpanjang hingga Surabaya. Hal ini seiring dengan pernyataan Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa, yang tidak mau pelunasan utang Whoosh menggunakan anggaran negara alias APBN. Prasetyo menyebutkan, kemelut utang...

OJK Tak Mau Industri Gadai Jadi Tempat Cuci Uang hingga Penadah Barang Ilegal

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) akan mendorong industri gadai yang marak di Indonesia lebih tertib dan memiliki izin. Sebab, banyak industri gadai yang tak berizin dan rawan dijadikan tempat cuci uang atau penadah barang ilegal. Kepala Eksekutif Pengawas Lembaga Pembiayaan Perusahaan Modal Ventura, LKM dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya...

P1Harmony Siap Gelar Tur Eropa pada Januari 2026

Boy band asal Korea Selatan, P1Harmony, siap memulai tur Eropa mereka pada awal tahun depan. Kabar ini dibagikan langsung oleh agensi mereka, FNC Entertainment. Dalam pengumumannya, FNC Entertainment menyampaikan bahwa konser bertajuk '2026 P1Harmony Live Tour in Europe' akan dimulai pada Januari 2026. Keeho, Theo, Jiung,...

PSSI Segera Gelar Rapat Evaluasi Ronde 4, Termasuk Nasib Patrick Kluivert

Manajer Timnas Indonesia, Sumardji, meminta agar PSSI segera menggelar rapat Komite Eksekutif (Exco) untuk melakukan evaluasi menyeluruh usai hasil kurang memuaskan yang diraih skuad ‘Garuda’ di Ronde 4 Kualifikasi Piala Dunia 2026. Ia menegaskan akan segera menyusun dan menyerahkan laporan resmi kepada Ketua Umum PSSI, Wakil Ketua...

Sumardji: PSSI Segera Gelar Rapat Bahas Nasib Patrick Kluivert

Manajer Timnas Indonesia, Sumardji, meminta agar PSSI segera menggelar rapat Komite Eksekutif (Exco) untuk melakukan evaluasi menyeluruh usai hasil kurang memuaskan yang diraih skuad ‘Garuda’ di Ronde 4 Kualifikasi Piala Dunia 2026. Ia menegaskan akan segera menyusun dan menyerahkan laporan resmi kepada Ketua Umum PSSI, Wakil Ketua...

1.966 Napi Palestina yang Ditahan Israel Naik ke Bus, Segera Dibawa ke Gaza

Sebanyak 1.966 napi Palestina yang ditahan di Israel dilaporkan telah naik ke bus dan akan segera dibawa ke Gaza, demikian dilaporkan Reuters, Senin (13/10). 250 di antara napi yang dibebaskan merupakan tahanan politik Palestina yang dihukum seumur hidup di Israel. Sumber yang mengetahui proses pembebasan tahanan mengatakan,...

Pramono Dukung Bulky Waste, Minta PPSU Tertibkan Spanduk dan Billboard Lama

Gubernur DKI Jakarta Pramono Anung, mendukung program pengangkutan sampah besar (bulky waste) gratis yang digagas Dinas Lingkungan Hidup (DLH) DKI Jakarta. Ia menilai inisiatif tersebut sejalan dengan upaya menjaga kebersihan fasilitas publik di Jakarta. “Jadi ini memang kita dorong (pengangkutan sampah besar). Saya termasuk sebentar lagi akan meminta...

1.000 Petugas Damkar DKI Mulai Jalani Pra Diklat, Pendidikan Dimulai Awal 2026

Sebanyak 1.000 petugas pemadam kebakaran (Damkar) DKI Jakarta mulai menjalani masa pelatihan dasar atau pra diklat sejak 1 Oktober 2025. Kegiatan ini merupakan tahap awal sebelum mereka mengikuti pendidikan sebagai petugas Damkar. Kepala Dinas Penanggulangan Kebakaran dan Penyelamatan (Gulkarmat) DKI Jakarta, Bayu Meghantara, mengatakan seluruh peserta yang lolos...

Tiba di Kairo, Prabowo Hadiri KTT Perdamaian Gaza

Presiden Republik Indonesia, Prabowo Subianto Tiba di Bandar Udara Internasional Sharm El-Sheikh, Republik Arab Mesir untuk menghadiri Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Perdamaian Sharm El-Sheikh pada Senin (13/10). Pesawat Garuda Indonesia-1 yang membawa Kepala Negara beserta rombongan terbatas tiba sekitar pukul 07.00 waktu setempat. Tampak menyambut ketibaan Kepala Negara...