
Selama bertahun-tahun, pendidikan dihadapkan pada masalah besar yang disebut “Two-Sigma Problem” dari Benjamin Bloom. Penelitian tahun 1984 itu menunjukkan bahwa siswa yang mendapat bimbingan pribadi bisa jauh lebih unggul daripada hampir semua siswa di kelas biasa.
Namun, ada persoalan utama seperti yang ditegaskan Paul Matthews dalam penyampaiannya di TEDx Talk satu tahun lalu, adalah bagaimana menyediakan pembelajaran pribadi untuk semua siswa di dunia tanpa biaya yang sangat tinggi.
Inti dari “Two-Sigma Problem” adalah kurangnya personalisasi. Di kelas konvensional, guru dipaksa untuk mengadopsi pendekatan “tembak dan berdoa” (spray and pray), di mana satu materi disampaikan untuk seluruh kelas yang memiliki beragam tingkat pemahaman. AI menghancurkan model ini.
Dengan teknologi yang ada saat ini, AI dapat berfungsi sebagai tutor virtual yang menyesuaikan materi pembelajaran secara real-time untuk setiap siswa, seperti yang ditunjukkan oleh beberapa platform pendidikan terkemuka.
Sebagai contoh nyata, AI dapat mengambil sebuah teks yang rumit dan dengan cepat menurunkannya menjadi beberapa versi dengan tingkat kesulitan yang berbeda. Seorang siswa yang kesulitan membaca dapat menerima versi yang disederhanakan, sementara siswa yang lebih mahir bisa mendapatkan materi yang lebih menantang.
Guru dapat melacak kemajuan setiap siswa secara individu dan melihat bagaimana setiap penyesuaian materi berkorelasi dengan peningkatan pemahaman. Ini mengubah kelas menjadi lingkungan yang adaptif, bukan lagi tempat di mana siswa pasrah dengan satu ukuran yang cocok untuk semua.
Umpan Balik Instan dan Terarah
Umpan balik yang tepat waktu dan terperinci adalah kunci untuk perbaikan. Dalam pidatonya, Matthews menjelaskan bahwa di kelas besar, guru kesulitan memberikan umpan balik mendalam untuk setiap siswa, setiap saat. Akibatnya, banyak siswa yang tidak tahu di mana letak kesalahan mereka dan bagaimana cara memperbaikinya. Ini adalah titik di mana AI dapat memberikan dampak terbesar.
Alih-alih menunggu berhari-hari untuk tugas yang diperiksa, siswa bisa mendapatkan umpan balik instan dari AI tentang kelemahan logis dalam tugas mereka. Guru yang selama ini dibebani dengan tugas rutin penilaian, kini memiliki lebih banyak waktu untuk fokus pada interaksi personal, seperti membimbing siswa yang paling membutuhkan bantuan.
Tentu transformasi ini tidak akan terjadi begitu saja. Ada dua hal krusial yang harus kita lakukan. Pertama, para guru membutuhkan pelatihan dan waktu untuk beradaptasi dengan teknologi baru ini. AI bukanlah pengganti guru, melainkan mitra yang memberdayakan. Tetapi kita tidak bisa berharap mereka belajar di luar jam kerja mereka yang sudah padat.
Kedua, kita harus melatih siswa untuk menggunakan AI secara bijak. Seperti yang Matthews katakan, “AI akan digunakan, ini bukan masalah jika tapi bagaimana.” Kita harus mengajarkan mereka untuk menggunakan AI sebagai co-pilot dalam pembelajaran, bukan sebagai alat untuk menyelesaikan pekerjaan mereka.
Meskipun tantangan seperti akses dan privasi data tetap ada, manfaat dari AI jauh melampaui risikonya. Dengan data yang terukur dari platform pembelajaran adaptif dan sistem umpan balik otomatis, kita bisa menunjukkan dengan jelas bagaimana AI tidak hanya membantu satu atau dua siswa, tetapi ribuan bahkan jutaan siswa yang berpotensi tertinggal.