
Nepal baru saja diguncang salah satu krisis politik paling parah dalam sejarahnya. Tragedi politik bumi hangus melanda negara yang mengandalkan sektor pariwisata itu. Pada awal September 2025, ribuan anak muda dari Generasi Z (Gen Z) memenuhi jalanan Kathmandu dengan tuntutan perubahan. Pada mulanya mereka memprotes kasus-kasus korupsi, nepotisme, dan kebijakan pemerintah yang dianggap menyimpang.
Akan tetapi, situasi negara segera memburuk setelah pemerintah memberlakukan blokir media sosial. Massa pendemo semakin beringas. Gedung parlemen dibakar, kantor-kantor pemerintahan diserbu, rumah para pejabat dijarah, mereka beserta keluarganya menjadi sasaran persekusi. Perdana Menteri K.P. Sharma Oli terpaksa mundur, parlemen dibubarkan, militer dikerahkan untuk pengamanan kota. Para pejabat kocar-kacir melarikan diri dari amukan dan kejaran massa.
Kebakaran gedung parlemen Nepal menunjukkan bahwa legitimasi rezim yang berkuasa telah menjadi arang. Di balik kobaran api itu tersimpan akumulasi kekecewaan yang lama terpendam. Gen Z Nepal hidup dalam situasi paradoksal. Di satu sisi, mereka tumbuh dengan sumber daya informasi global yang tak terbatas melalui teknologi informasi digital.
Di media sosial, mereka menyaksikan anak-anak muda bangkit menentang ketidakadilan di berbagai belahan dunia, dari Black Lives Matter di Amerika Serikat hingga protes mahasiswa di Thailand, Bangladesh, dan Indonesia. Sebaliknya, kehidupan sehari-hari mereka penuh dengan keterbatasan. Tingkat pengangguran pemuda hampir 20%, kenaikan harga kebutuhan, dan hanya segelintir orang yang memiliki akses ke pendidikan berkualitas.
Ironisnya, di tengah krisis itu, para politisi justru tampil di media sosial dengan gaya hidup mewah. Anak-anak pejabat pamer kemewahan seperti foto-foto mobil sport, aksesoris mewah, dan liburan eksotis di luar negeri dengan cepat menjadi viral.
Pamer kekayaan di tengah penderitaan rakyat ibarat percikan api di atas genangan bensin. Anak-anak muda yang tiap hari berkutat dengan keresahan ekonomi tidak bisa lagi menerima jurang yang kontras tersebut. Media sosial yang semula sebagai sarana hiburan berubah menjadi saluran kemarahan kolektif.
Amarah Gen Z dan Perubahan Politik
Apa yang terjadi di Nepal bukanlah sekadar protes biasa, melainkan letupan amarah generasi yang merasa masa depannya dicuri. Gen Z di sana tidak lagi percaya pada janji manis para politisi, melainkan menuntut perubahan nyata. Mereka menginginkan pemerintahan yang bersih dari korupsi, sistem pemerintahan tanpa nepotisme, serta kebebasan untuk bersuara tanpa takut direpresi. Ketika tuntutan itu diabaikan, mereka memilih jalan ekstrem, yakni dengan melakukan aksi demo anarkis yang bahkan aparat keamanan pun tidak mampu menahannya.
Saat ini Nepal berada di persimpangan politik yang menentukan. Setelah jatuhnya Perdana Menteri Oli dan pembubaran parlemen, muncul kekhawatiran bahwa gerakan pro-monarki bisa mengambil alih narasi politik, terutama tuntutan agar Nepal kembali menjadi kerajaan di bawah Raja Gyanendra Shah. Namun langkah-langkah transisi telah dilakukan untuk meredam ketegangan.
Presiden Nepal melantik Sushila Karki, mantan Ketua Mahkamah Agung, sebagai Perdana Menteri ad interim, menggantikan kepemimpinan sebelumnya dan membuka jalan bagi pemilu yang dijadwalkan Maret 2026.
Jika monarki benar-benar kembali menjadi opsi serius, Nepal menghadapi kemungkinan pola serupa dengan Filipina, di mana nama Marcos yang pernah jatuh karena kediktatoran, mampu kembali berkuasa lewat pemilu. Fenomena tersebut menunjukkan bahwa kekuatan lama bisa bangkit kembali ketika rakyat kecewa terhadap sistem yang ada akan tetapi tidak memiliki cetak biru untuk masa depan yang lebih menjanjikan.
Refleksi untuk Indonesia
Bagi Indonesia, apa yang terjadi di Nepal harus dijadikan cermin yang jernih. Kita punya populasi Gen Z terbesar di Asia, sebuah generasi yang hidup di tengah media sosial, kritis terhadap ketidakadilan, dan semakin sulit dibungkam. Situasi sosial-ekonomi kita tidak jauh berbeda. Pengangguran di kalangan Gen Z masih tinggi, harga kebutuhan pokok terus meningkat, dan kesenjangan sosial makin terasa. Di saat yang sama, sebagian politisi yang memamerkan kemewahannya dan pernyataannya yang sarkas telah mengobok-obok emosi publik.
Kita tidak boleh mengabaikan ketidakpuasan yang muncul. Gen Z Indonesia tidak lagi pasif, seperti yang ditunjukkan oleh protes mereka terhadap UU Cipta Kerja, RUU Pilkada dan RUU TNI, serta kritik tajam terhadap tingkah laku anggota dewan. Mereka menjadi lebih sadar politik dan menggunakan media sosial sebagai alat untuk melihat, mengkritik, dan bahkan mengorganisasi diri mereka sendiri. Beberapa video viral yang menunjukkan komentar dan perilaku ngeyel anggota dewan dapat memicu gerakan besar, seperti yang terjadi pada 25–28 Agustus lalu.
Pengalaman Reformasi 1998 menjadi pengingat bahwa mahasiswa pernah menjadi kekuatan utama dalam menggulingkan rezim. Namun Gen Z hari ini tampil dengan wajah yang berbeda. Mereka lebih berani menyuarakan aspirasi melalui ruang digital, lebih cepat merespons isu, dan lebih terhubung dengan gerakan global. Politik gimmick yang hanya menampilkan citra tanpa manfaat semakin tidak mempan. Generasi ini akan segera membongkar kepalsuan, dan politisi yang sibuk memoles diri di Instagram atau TikTok berisiko menjadi bahan cemoohan.
Penutup
Para elite politik Indonesia perlu belajar dari Nepal. Mempersempit ruang berekspresi dan mengantisipasi protes dengan menutup kanal digital hanya akan mempercepat ledakan protes. Dengan kata lain, mengabaikan tuntutan Gen Z dapat memperbesar jurang ketidakpercayaan rakyat terhadap elite.
Yang diperlukan saat ini adalah berpolitik secara rendah hati dan mau mendengar. Tidak hanya pemerintah, partai-partai politik pun harus mendorong reformasi antikorupsi yang nyata, kebijakan ekonomi yang membuka lapangan kerja bagi Gen Z, serta mewujudkan ruang partisipasi politik yang substantif.
Politik bumi hangus di Nepal adalah peringatan keras. Amarah Gen Z yang tidak tersalurkan dengan baik bisa meluluhlantakkan stabilitas negara. Indonesia masih punya waktu untuk menghindari skenario serupa.
Jika elite politik terus asyik dengan kepentingannya sendiri dan menutup mata terhadap tuntutan rakyat atas perbaikan kondisi politik dan ekonomi, sejarah bisa saja berulang dengan cara yang sama kerasnya. Nepal mengingatkan kita bahwa demokrasi hanya bertahan jika ia dirawat dengan kejujuran dan integritas. Jika tidak, Gen Z akan mencari jalannya sendiri, dan jalan itu bisa berakhir dengan api yang membakar habis simbol-simbol kekuasaan.