
Foto: Dok. KKP
Tambak udang bukan sekadar lahan produksi, tapi juga panggung perjuangan manusia. Di balik setiap kolam yang tampak tenang, ada riak-riak kecil yang membawa cerita: tentang pekerja yang rela berjaga semalaman, tentang teknisi yang tak bisa mudik saat panen, dan tentang keluarga yang menanti di rumah tanpa tahu kapan sang ayah atau ibu akan pulang. Begitulah kehidupan di industri tambak udang intensif—tak mengenal waktu istirahat, tak memberi jeda untuk diri sendiri.
Namun, dunia berubah. Mereka yang kini mengisi barisan karyawan tambak bukan lagi generasi yang sama seperti dua dekade lalu. Generasi milenial dan generasi Z telah mengambil alih peran, membawa semangat baru, cara pandang baru, dan tentu saja harapan baru terhadap apa yang disebut sebagai ‘pekerjaan layak’. Bagi mereka, pekerjaan bukan hanya tentang penghasilan, tapi juga tentang makna hidup, ruang untuk tumbuh, dan tentu saja: keseimbangan.
Istilah work-life balance (WLB) seringkali terdengar mewah di tengah deru pompa tambak dan aroma pakan udang yang khas. Tapi bagi generasi masa kini, WLB bukanlah kemewahan—melainkan kebutuhan. Mereka ingin bekerja dengan sepenuh hati, namun juga ingin tetap bisa mengantar anak ke sekolah, merayakan ulang tahun bersama keluarga, atau sekadar menikmati sore di teras rumah.
Di industri yang berputar tanpa henti seperti tambak udang, memang sulit membayangkan cuti mingguan atau jam kerja fleksibel. Tapi bukan berarti tak mungkin. Beberapa perusahaan perintis mulai memikirkan ulang sistem kerja. Mereka mengatur jadwal shift bergilir yang memberi ruang rehat lebih manusiawi, menyediakan fasilitas komunikasi untuk pekerja yang tinggal jauh dari keluarga, bahkan membangun ruang santai dan mushola yang nyaman di lingkungan tambak.
Perbedaan Gaya Kerja Antar Generasi
Tambak udang kini menjadi arena bertemunya dua generasi besar: generasi X (kelahiran 1965–1980) yang banyak menduduki posisi pengawas atau manajer lapangan, dan generasi Y-Z (kelahiran 1981–2005) yang mendominasi tenaga kerja operasional. Perbedaan nilai kerja dan gaya hidup antara dua kelompok ini kadang menimbulkan ketegangan, terutama dalam hal loyalitas, jam kerja, dan cara menyikapi tekanan kerja.
Generasi lebih senior terbiasa bekerja dalam ritme panjang dan penuh pengorbanan, sementara generasi muda cenderung mencari ruang untuk menyeimbangkan kehidupan kerja dan personal. Bagi mereka, kualitas hidup tak bisa dikompromikan sepenuhnya demi pekerjaan. Perbedaan ini kian terasa saat beban kerja meningkat di musim padat budidaya.
Riset McKinsey (2023) mengungkapkan bahwa lebih dari 40% pekerja muda menyatakan ingin fleksibilitas kerja dan waktu istirahat yang cukup sebagai bagian dari kepuasan kerja. Di sisi lain, studi Putri & Supriyanto (2022) menyebutkan bahwa manajemen yang sensitif terhadap kebutuhan lintas generasi mampu meningkatkan retensi karyawan hingga 30%.
Meskipun belum banyak kajian spesifik mengenai work-life balance di sektor perikanan budidaya, sejumlah riset yang dilakukan pada sektor agrikultur dan perikanan menunjukkan bahwa ritme kerja yang padat dan minimnya waktu istirahat dapat mempengaruhi kualitas hidup pekerja. Misalnya, studi di wilayah pesisir Asia Selatan mengungkap bahwa sebagian besar pekerja akuakultur mengalami kelelahan fisik dan psikologis yang berkelanjutan apabila tidak terdapat jeda waktu yang cukup untuk pemulihan energi dan interaksi sosial di luar pekerjaan.
Lebih lanjut, perbedaan antar generasi juga memunculkan spektrum gaya kerja dan ekspektasi terhadap kehidupan profesional yang semakin lebar. Generasi X, misalnya, cenderung menghargai stabilitas, loyalitas pada perusahaan, serta menerima sistem kerja hierarki. Mereka tumbuh di masa di mana bekerja keras identik dengan keberhasilan dan pengorbanan waktu pribadi adalah bagian dari komitmen.
Sementara itu, generasi milenial (Y) dan generasi Z membawa semangat baru dalam dunia kerja. Mereka lebih adaptif terhadap teknologi, terbuka terhadap perubahan, dan sangat memperhatikan keseimbangan hidup. Bagi generasi ini, bekerja bukan semata-mata tentang memperoleh penghasilan, tetapi juga tentang pencapaian diri, kesehatan mental, dan makna pekerjaan dalam kehidupan mereka. Dalam konteks tambak udang, hal ini bisa berarti harapan terhadap waktu kerja yang lebih fleksibel, ruang aktualisasi, serta lingkungan kerja yang sehat secara sosial dan emosional.
Jika perbedaan cara pandang ini tidak dikelola dengan bijaksana, maka bukan tidak mungkin akan muncul gesekan di lingkungan kerja. Misalnya, generasi senior bisa saja memandang pekerja muda sebagai kurang berdedikasi karena enggan bekerja di luar jam kerja. Sebaliknya, pekerja muda mungkin merasa sistem kerja yang terlalu kaku tidak lagi relevan dengan nilai-nilai hidup yang mereka anut. Ketimpangan generasi ini, jika tidak ditengahi dengan pendekatan manajemen yang inklusif, dapat berdampak pada penurunan motivasi kerja, meningkatnya turnover, hingga berkurangnya produktivitas tim secara keseluruhan.
Dalam konteks inilah, penting untuk meninjau kembali bagaimana pendekatan manajemen sumber daya manusia dapat diselaraskan dengan perubahan dinamika generasi dan pentingnya work-life balance. Tidak hanya untuk meningkatkan kesejahteraan pekerja, tetapi juga untuk menjaga keberlanjutan usaha tambak udang yang semakin kompleks dan kompetitif.
Muncul tantangan ganda: bagaimana menjembatani dua pendekatan kerja yang berbeda, dan bagaimana memastikan bahwa operasional tambak tetap efisien tanpa mengorbankan sisi kemanusiaan dalam bekerja?
Beberapa pengelola tambak udang di Asia Tenggara mulai merespons tantangan ini dengan menciptakan sistem rotasi shift yang lebih manusiawi, memperkenalkan waktu istirahat terpola, serta memberikan pelatihan kerja berbasis digital yang memudahkan generasi muda untuk beradaptasi. Meski belum merata, pendekatan seperti ini merupakan sinyal bahwa sektor akuakultur pun mulai menyesuaikan diri dengan transformasi nilai kerja generasi masa kini.
Masa depan industri tambak udang, berada di tangan perusahaan yang mampu bertransformasi: dari tambak yang mengejar kuantitas panen menjadi tambak yang menghargai kualitas hidup karyawannya. Ini bukan mimpi kosong. Studi demi studi menunjukkan bahwa karyawan yang bahagia dan seimbang jauh lebih loyal, produktif, dan kreatif.
Lalu apa yang bisa dilakukan?
Pertama, mulai dari mendengarkan. Libatkan mereka dalam merancang jadwal kerja.
Kedua, bangun sistem rotasi shift dan waktu rehat yang cukup.
Ketiga, fasilitasi koneksi dengan keluarga. Sediakan akses internet dan komunikasi yang baik di area tambak.
Keempat, kembangkan program kesehatan mental dan rekreasi. Tak perlu mewah, cukup kegiatan sederhana seperti senam pagi, kajian motivasi, atau makan bersama bisa menciptakan iklim kerja yang lebih hangat dan kekeluargaan.
Kelima, jadikan WLB sebagai bagian dari sistem penilaian kinerja manajemen.
Generasi Milenial dan Gen-Z telah memberi kita cermin baru: bahwa produktivitas tanpa keseimbangan hanyalah kelelahan yang ditunda. Alhasil, bukan sekadar mencapai panen maksimal, tapi juga memastikan bahwa tangan-tangan yang bekerja di baliknya tetap kuat, sehat, dan bahagia.