
Seringkali orang-orang ingin mencampur penggunaan bahasa dalam bersosial media karena dinilai lebih sesuai dengan apa yang hendak diunggah. Namun, tidak jarang banyak yang berpikir dua kali untuk mempostingnya. Hal ini dilakukan karena mereka malas terkena koreksi dari Polisi Grammar.
Polisi Grammar atau Grammar Nazi sebenarnya bukan istilah yang baru lagi di kehidupan sosial media. Istilah Polisi Grammar banyak digunakan di Indonesia sedangkan Grammar Nazi sering dijumpai di luar negara Indonesia. Istilah ini disematkan pada orang-orang yang gemar mengoreksi grammar orang lain apabila terdapat penulisan atau pengucapan yang tidak sesuai dengan kaidah.
Hal ini identik dengan tugas polisi yang mengatur kehidupan bermasyarakat sehingga penyematan polisi grammar bisa dibilang tepat. Begitu pula dengan istilah grammar nazi yang dikaitkan dengan orang-orang yang gemar untuk mengoreksi tata bahasa orang lain dan cenderung membuat orang yang dikoreksi merasa tidak nyaman.
Keberadaan polisi grammar ini menimbulkan pro dan kontra di masyarakat bersosial media. Ada yang mengatakan keberadaannya menyebalkan dan meresahkan, tetapi ada juga yang menyebutkan keberadaannya membantu pada orang-orang yang sedang belajar.
Lalu sebenarnya apakah keberadaan polisi grammar ini meresahkan atau justru membantu untuk orang-orang, khususnya di sosial media? Dan bagaimana sebaiknya polisi grammar bergerak dalam melakukan ‘tugasnya’?
Polisi Grammar akan Muncul Apabila Terjadi Kesalahan dalam Tata Bahasa

Sering dijumpai seseorang berkomunikasi menggunakan dua bahasa sekaligus, seperti bahasa Indonesia dan bahasa asing, karena merasa menguasainya. Bukan berarti orang yang tidak mengusainya tidak dapat menggunakannya, namun tentu saja kemampuan mereka dalam bahasa asing tersebut terbatas. Sehingga, saat mereka ingin menggunakannya, terkadang terdapat kesalahan dalam segi tata bahasanya.
Sebab, tata bahasa antara satu bahasa berbeda dengan bahasa lainnya sehingga perlu benar-benar mengerti agar meminimalkan kesalahan yang bisa saja timbul. Penggunaannya sering dijumpai di sosial media, khususnya aplikasi X.
Pada saat kesalahan-kesalahan inilah polisi grammar bermunculan untuk mengoreksi penulisan yang menurutnya tidak benar dan tidak sesuai dengan aslinya. Cara koreksinya juga didominasi melalui kolom komentar dari postingan aslinya.
Tidak sedikit yang mengatakan bahwa adanya polisi grammar ini menyebalkan dan meresahkan. Mereka dianggap menyebalkan karena mengoreksi dengan cara merendahkan dan mengejek sehingga orang-orang merasa kesal dan malu dengan yang dilakukannya. Jadi, bukannya senang malah dikoreksi tetapi malah kesal dan malu dibuatnya.
Tetapi, ada juga yang memang disengaja salah atau hanya typo penulisan, namun pemilik akun malas untuk memperbaiki. Pada saat inilah, kehadiran polisi grammar dianggap menyebalkan karena tanpa mereka koreksi, pengguna tau bahwa tulisan yang diunggah memang salah.

Namun, ada juga beberapa orang yang menganggap keberadaan polisi grammar ini membantu mereka. Hal ini karena mereka menganggap koreksi yang dilakukannya membantu mereka untuk improve dalam belajar bahasa asing sehingga dianggap sangat bermanfaat dengan koreksi tersebut.
Dilansir dari Jurnal Basis, artikel berjudul Grammar-Nazi Analysis in English Learning Process Among Millenials in Indonesia juga berpendapat bahwa adanya polisi grammar atau grammar nazi ini dianggap sebagai penyemangat dalam belajar atau bahkan mematahkan semangat dalam belajar karena takut ditertawakan dan dipermalukan orang lain atas kesalahannya.
Sehingga, seorang polisi grammar harus tau cara memposisikan dirinya saat ingin mengoreksi orang lain dengan tidak mempermalukan orang tersebut. Sebab, adanya koreksi ini juga dapat melunturkan semangat belajar bahasa asing seseorang.
Niat dari Polisi Grammar Dimaknai sesuai dengan Persepsi Masing-Masing
Jadi, bisa disimpulkan bahwa menyebalkan atau membantu itu tergantung dengan persepsi masing-masing pengguna. Bisa dianggap menyebalkan apabila koreksi yang dilakukan dengan cara merendahkan atau mengejek dan bisa dianggap membantu apabila orang yang dikoreksi menganggap koreksi tersebut sebagai bentuk pembelajaran untuk ke depannya.
Polisi grammar harusnya mengoreksi tata bahasa seseorang dengan cara yang mudah diterima dan tidak menyinggung orang lain. Karena kesalahan tata bahasa bisa saja disengaja oleh penggunanya sehingga tidak semua perlu dikoreksi.
Koreksi yang dilakukan juga akan lebih baik melalui pesan pribadi karena bisa saja orang tersebut tidak suka apabila dikoreksi secara publik karena membuat mereka malu. Sehingga polisi grammar yang sebenarnya berniat baik, malah dianggap menyebalkan dan meresahkan oleh masyarakat sosial media.
