
Gubernur Jawa Barat (Jabar) Dedi Mulyadi menilai kesenjangan sosial atau disparitas masih menjadi tantangan besar bagi wilayah Jabar. Salah satunya terkait pendidikan yang tidak semua orang bisa menikmatinya dengan baik.
“Orang-orang kaya hari ini (pejabat) akses sekolahnya terarah, keterampilannya terarah, pendidikan anaknya baik. Mereka tumbuh menjadi kelas orang kaya yang makin kuat,” kata Dedi saat menyampaikan sambutan di Sidang Paripurna DPRD Karawang dalam rangka HUT ke-392 Karawang, Minggu (14/9).
Dedi Mulyadi menyebut disparitas tersebut tidak boleh dibiarkan karena akan menjadi ‘bom waktu’ menimbulkan kekecewaan dan tumpah ke jalan.
Ia menyinggung kekacauan akbar di Nepal yang baru-baru ini terjadi harusnya bisa jadi pelajaran untuk perbaikan ke depan.
“Disparitas ini, saya kasih tahu. Ketika mereka kecewa dan pada akhirnya melampiaskan kekecewaan dan kemarahan di jalanan, dan ketika dikelola secara baik menjadi gerakan rakyat,” ujar Dedi.
“Contohnya Nepal itu bisa menggerakkan, menjatuhkan. Menterinya ditelanjangi. Kita masih belum seperti itu. Masih terjaga, masih teramankan,” lanjutnya.
Untuk itu, KDM–sapaan akrabnya–menyerukan agar pejabat mengubah gaya kepemimpinan yang lebih dekat secara emosional dengan masyarakat, serta mengarahkan banyak anggaran untuk membantu rakyat kecil.

“Mari kita ubah gaya kepemimpinan kita. Mari kita ubah gaya anggaran kita. Alokasikan anggaran untuk anak-anak miskin. Salurkan energi mereka ke ruang sekolah yang profesional. Maka penting dibangun sekolah militer. Maka penting dibangun sekolah rakyat. Maka penting dibangun sekolah taruna,” katanya.
Dedi Mulyadi Cerita soal Demo Ricuh di Jabar
Dedi Mulyadi kemudian mencontohkan pengalamannya saat menghadapi gelombang demonstrasi besar di Gedung Sate beberapa waktu lalu.
Menurutnya, kedekatan emosional pemimpin dengan massa mampu meredam situasi yang nyaris berujung pembakaran.
“Kenapa Gedung Sate tidak jadi dibakar? Karena saya dekat dengan mereka. Mereka mengenal wajah saya, kena saya sering berinteraksi dengan mereka.”
“Banyak orang yang mengkritik saya waktu itu karena memakai gaya bahasa ‘Sia ulah meleum kantor Aing’. Kenapa bahasa itu sangat efektif ketika menghadapi gelombang demonstrasi? Karena Bahasa itu adalah bahasa mereka. Ketika ada pemimpin yang menyampaikan pesan dalam bahasanya, mereka menganggap dia adalah pemimpin,” tandas Dedi.